TULISAN UNTUK ANGGOTA DEWAN DAN PEMDA
BANYUWANGI MENGENAI TUMPANG PITU
Oleh: Dr. Yos Suprapto,
MA
Assalamualaikum Wr.Wb., Om
Swastiastu, Shalom, Damai Sejahtera Untuk Kita Semua
LATAR BELAKANG:
Banyuwangi adalah tanah kelahiran yang menyisipkan kenangan indah
ketika saya masih kecil. Meskipun tidak lama saya menikmati hidup di desa nenek
moyang saya, karena orang tua saya mendapatkan pekerjaan di Surabaya, saya
masih ingat betapa kehidupan sederhana kami telah menanamkan sebuah kenangan
yang tidak mudah saya lupakan. Bangorejo ketika saya masih kecil adalah sebuah
desa yang dikelilingi oleh aliran air sungai dan kanal-kanal yang membuat sawah
dan ladang kami selalu memproduksi hasil bumi yang berkelimpahan. Bahkan dengan
hasil bumi tersebut, seperti halnya kakek dan nenek saya, banyak keluarga yang
bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang akademik di luar kebiasaan anak
petani. Bisa dimengerti, sebab pada waktu itu pendidikan tinggi merupakan
privilege tersendiri dari stratifikasi kelompok masyarakat tertentu. Bagi anak
petani, pendidikan tinggi merupakan sesuatu diluar imajinasi mereka. Tetapi
bagi sebagian kecil, itu merupakan anugerah yang tak terhingga nilainya.
Begitulah desa Bangorejo yang dinamik dalam keterpencilannya.
Setelah 40 tahun meninggalkan desa kelahiran itu dan kembali untuk
menyusun ingatan masa kecil, ternyata kenangan indah tadi tersobek oleh
kenyataan bahwa perubahan fisik (seperti perubahan fisik diri saya atau juga
yang dialami oleh setiap orang yang mengalami fase penuaan) Kabupaten
Banyuwangi ternyata membawa kejutan tersendiri. Jalan-jalan sudah berASPAL,
namun masih bergelombang dahsyat. Dari Kalibaru sampai Jajag, jalan-jalan aspal
tadi membuat speedometer mobil tua saya bisa tidak berfungsi karena
kabel-kabelnya rontok. Rumah-rumah mewah dibangun menjorok ke jalan-jalan
seakan mempertontonkan kemakmuran penghuninya. Tapi setelah saya sampai di
rumah bapak saya dan bersosialisasi dengan sanak saudara, saya baru tahu bahwa
rumah-rumah mewah tadi ternyata hanya tampak dari depannya saja. Di belakang
rumah masih tetap seperti dulu, dan bahwa para istri sanak saudara saya tidak
ada di rumah karena mereka harus bekerja menjadi pembantu rumah tangga di
negeri orang. Dari sini saya melihat kemegahan pembangunan fisik di Banyuwangi
ternyata berdiri diatas dasar yang sangat rapuh serapuh tanah-tanah labil
jalan-jalan Kabupaten.
Mengapa saya sangat ingin pulang ke tanah kelahiran saya? Ini semua
berawal ketika pada tahun 2000 saya pulang karena setahun sebelumnya saya
diminta pulang oleh Gus Dur mantan Presiden RI untuk membantu teman-teman
membangun apa yang bisa dibangun di negeri ini. Tapi ketika saya pulang pada
akhir tahun 2000 sebelum saya kebagian pekerjaan, Gus Dur sudah dilengserkan,
dan saya harus kembali ke dunia akademik dan mengajar di beberapa Universitas
di Yogyakarta. Dua tahun lalu ketika saya pulang kampung, saya bertemu dengan
beberapa aktivis lokal dan memberikan banyak informasi tentang Tumpang Pitu.
Tumpang Pitu bagi saya adalah sebuah tempat yang pernah melekatkan sebuah
harapan dalam ingatan masalalu mengenai masa depan yang gemilang. Karena dari
cerita ayah yang beliau terima dari cerita kakek buyut, Tumpang Pitu menyimpan
begitu besar kekayaan yang akan dipergunakan untuk kesejahteraan anak cucu.
Saya pernah bertanya: “Anak cucu siapa itu?” Ayah menjawabnya: “Ya anak cucu
kita”. Tapi betulkah itu?
Pada jaman Blambangan pemerintah melakukan kesepakatan dengan
Portugis. Menukar emas yang diambil dari Tumpang Pitu dengan meriam-meriam
untuk menghadapi kekuatan Mataram dan VOC.
Pada Jaman Mataram setelah Blambangan dihancurkan, Belanda
menjarahnya untuk membangun kerajaan Holandia dengan alasan membuka
perkebunan-perkebunan.
Pada jaman peralihan, Jepang mengendus adanya harta kekayaan untuk
anak cucu tersebut. Mereka masuk ke Tumpang Pitu untuk melakukan penjarahan
dalam membeayai perang di Asia dan Pasifiknya.
Pada jaman Reformasi, ternyata yang datang ke Tumpang Pitu adalah
tetap anak cucu orang-orang asing dengan menggunakan bangsa Indonesia sebagai
pintu pembuka jalan, persis seperti pada jaman Mataram yang bekerja sama dengan
VOC. Dari penelitian kami, ternyata PT Indo Multi Niaga hanya sekedar komprador
yang dibelakangnya adalah perusahaan tambang kecil yang di bawah bendera
INTREPID MINES dari negara Australia.
Nah ketika saya mendengar INTREPID MINES ada di balik IMN, ingatan
saya kembali pada beberapa dokumen yang pernah saya pelajari ketika saya
menjabat sebagai Chairperson di Rainforest Information Centre, sebuah
lembaga swadaya masyarakat Australia, yang menangani permasalahan kerusakan
hutan di seluruh dunia. Kebetulan saya dipercaya memegang kepemimpinan untuk
memonitor hutan-hutan di seluruh Asia Tenggara dan Pasifik. Dan INTREPID adalah
salah satu perusahaan pertambangan kecil yang pernah masuk daftar hitam
organisasi kami. Oleh karena ingatan inilah maka saya menghubungi teman-teman
di Australia untuk membantu saya mencarikan informasi tentang kegiatan
perusahaan ini di Banyuwangi.
Hasilnya sangat mencengangkan. Dalam waktu 24 jam informasi yang
saya butuhkan sudah dikirim lewat email. Bukan itu saja, ternyata informasi di
dalam dokumen yang dikirim ke saya memiliki perbedaan menyolok dalam aspek
perhitungan angka produksi serta metode penambangan yang disusun oleh induk
perusahaan IMN di Australia dibandingkan dengan dokumen teman-teman yang
dikeluarkan oleh IMN di Indonesia dalam bentuk laporan ANDAL (Analisis Dampak
Lingkungan Hidup). Dengan membandingkan dua dokumen tersebut, dengan amat mudah
kita bisa mengambil kesimpulan bahwa IMN telah sengaja melakukan pemalsuan data
dan informasi tentang metode penambangan. Hal ini menimbulkan kekeliruan
persepsi dari banyak kalangan yang menimbulkan pro dan kontra pada program
eksploitasi pertambangan di Tumpang Pitu. Terutama sekali bagi para Penentu
Kebijakan.
PEMALSUAN DATA
Sejarah penjarahan melalui proses penipuan di atas mengingatkan kita
pada awal era penjajahan VOC akan diulang kembali di tanah kelahiran saya.
Dari data yang diberikan teman-teman Forum Masyarakat Peduli
Banyuwangi dalam bentuk ANDAL IMN produksi IMN dalam 14 tahun tertulis seperti
berikut:
. akan memproduksi 9.600.000 ton cadangan bijih (ore)
. dengan kadar emas 2,3 gram/ ton
. jumlah logam emas 22,08 ton
. produksi emas per tahun 1,577 ton
. metode penambangan, Tambang bawah tanah (underground
mining)
. mobilsasi peralatan berat (ANDAL hal II – 20):
dump
truck berkapasitas 25 ton
excavator
PC 400 berkapasitas 3m3
genset dengan kapasitas 1.100KV
Data yang diambil dari ANDAL IMN tersebut ternyata jauh berbeda dari
data yang dikeluarkan sebagai kebijakan perusahaan induk IMN di Australia atau
yang dikenal dengan INTREPID MINES. Data yang dari Australia adalah data
disusun oleh perusahaan konsultan yang memiliki akses ke pemetaan satelit
canggih yang bisa menditeksi kandungan mineral di atas maupun di bawah tanah.
Mereka adalah Daniel Kappes seorang insinyur pertambangan yang memiliki lembaga
Konsultan bernama Kappes Cassidy and Association, Phillip Heliman, Seorang
Geolog yang membuka biro konsultan dengan nama Helliman & Schofield, Peter
Allen, Master Pertambangan, dari Australian Mine Design and Development.
Dari informasi yang disusun oleh lembaga-lembaga konsultan untuk
kebijakan INTREPID, ditulis bahwa IMN dalam waktu 8 tahun 10 bulan:
. metode penambangan adalah mutiple open pits
. mobilisasi peralatan berat (hal 91):
caterpillar
777D trucks dengan kapasitas 85 ton
excavator
Hitachi Zxis 850H kapasitas 85 ton/4.3m3
Hitachi
AH500D kapasitas 45 ton
Hitachi
EX1900 excavator berkapasitas 190 ton/12.0m3
. akan melakukan eksploitasi 57.000.000 ton bahan
mentah
. dengan kandungan emas lebih dari 500 ton
. kandungan peraknya lebih dari 36.000 ton
. dan kandungan tembaganya lebih dari 3 juta ton
. total hasil produksi dalam jumlah rupiah jika
gabungkan, adalah lebih dari Rp.500 triliun. Dengan catatan bahwa angka-angka
ini diambil dari potensi penambangan terbuka (open pits) di Tumpang Pitu saja.
Perlu diketahui bahwa dasar perhitungan kasar ini disusun dengan asumsi harga
emas terendah sebesar Rp. 400.000/gram, Perak Rp. 12.000/gram, dan tembaga
Rp.100/gram. Jika nilai dollar yang tertulis dalam kebijakan INTREPID sebesar
$212 juta itu dihitung dengan kurs $1 adalah Rp. 8.800,- maka jumlah modal yang
akan ditanam untuk semua kegiatan pertambangan ini hanya sebesar Rp. 1,865
triliun saja. Sementra dari perhitungan kebijakan INTREPID yang akan melakukan
eksploitasi pada seluruh kawasan yang sekarang dieksplorasi maka mereka bisa
mengeruk hasil sebesar 2 miliar ton cadangan bijih yang bila dikurskan ke dalam
rupiah adalah lebih Rp.15.000 triliun. Dari perhitungan ini, bisa dibayangkan,
kita bisa membayangkan berapa kekayaan rakyat Banyuwangi – bangsa Indonesia
dalam NKRI ini yang akan dieksploitasi oleh anak cucu orang-orang asing melalui
kompradornya. Lalu apa yang kita dapatkan? Komisi perpajakan sebesar 10%? Atau
yang 17%? Atau hanya sekedar mendapat bagian dari Golden Share?
Atau bencana yang akan kita dulang dari openpid mining
dan penggunaan sianida yang akan
membunuh setiap mahluk yang bersentuhan dengannya?
Bukan rahasia, IMN telah melakukan “EKSPLORASI” sejak 2006.
Eksplorasi yang didukung oleh data satelit. Bagi kami, para akademiwan, hal itu
sepertinya kata eksplorasi menjadi tidak masuk akal. Bagi kami, dengan adanya
gambar-gambar satelit yang menunjukkan lokasi emas di lapisan atas dan bawah,
penambang tidak lagi perlu bertahun-tahun melakukan eksplorasi. Mereka bisa
langsung melakukan eksploitasi tanpa harus bertele-tele menggunakan kata
eksplorasi. Maka kami menduga bahwa jika sejak awal Pemerintah Daerah memiliki
wewenang untuk menjadi pengawas lapangan dalam proses eksplorasi ini, saya
yakin bahwa kebenaran yang terungkap akan sangat mencengangkan. Salah satu
contoh tentang pernyataan IMN yang ditulis dalam ANDAL hal II – 20 yang
menyatakan bahwa selama IMN mengadakan eksplorasi yang tidak jelas itu ternyta
“peralatan pengolahan dan genset sudah terpasang” di lokasi. Bagaimana mungkin
peralatan pengolahan ikut dioperasikan dalam “EKSPLORASI” ?
Bahkan bukannya rahasia bila IMN telah melakukan eksplorasinya
diluar batas kesepakatan. Misalnya dengan ditemukan alat-alat pengeboran di
daerah Gunung Salak. Apakah ijin pengeboran sudah diberikan?
Dari perhitungan ekonomi selama hampir lima tahun eksplorasi yang
ditunjang oleh gambar satelit tersebut, berapa dana yang sudah dikeluarkan oleh
IMN dalam pengoperasiannya. Kita hitung saja berapa ongkos untuk menerbangkan
helikopter setiap hari selama 5 tahun tanpa ada pemasukan dari eksplorasi
tersebut. Sesuatu yang tidak masuk akal. Belum lagi pembagian “PERMEN” yang
mereka lakukan terhadap para komprador yang tidak segan-segan menjual
kesejahteraan bangsanya untuk kepentingan sesaat, pribadi maupun kelompoknya.
Oleh banyak orang yang kebagian permen tadi dari aspek eksplorasi IMN kelihatan
seperti malaikat yang baik hati. Tapi benarkah seperti itu?
Dalam logika ekonomi, keuntungan merupakan paradigma “economic
imperative demand”. Jadi bukannya tidak mungkin data satelit akan
memudahkan sebuah eksploitasi. Hal ini bisa dibuktikan dari bagaimana satelit
mata-mata Australia dalam menditeksi kandungan minyak di selat Timor yang kita
semua tahu pada akhirnya Indonesia yang pernah ikut menandatangani perjanjian
eksploitasi terbukti tidak mendapatkan apa-apa. Sejarah ini ternyata hampir
memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di bumi Banyuwangi. INTREPID MINES,
melalui IMN ternyata dengan diam-diam telah mengantongi Izin Usaha Penambangan
(IUP) untuk melakukan eksplorasi terhadap 6.623,45 hektar dan
pengeksploiasian (Production Operation)
terhadap 4.998 hektar. Dan kawasan ini akan terus diperlebar. Keputusan Bupati
Banyuwangi No: 185/05/KP/429.012/2007 tersebut dikantongi oleh IMN pada tanggal
25 Januari 2010 atas kuasa mantan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari, SE., MM.
Dengan mengantongi IUP inilah sejarah eksplorasi yang memakan waktu hampir 5
tahun itu dilakukan oleh IMN, kendati mereka juga memiliki data satelit
INTREPID yang begitu canggih untuk menditeksi keberadaan semua jenis meniral
yang mereka incar.
SEJARAH PENGHISAPAN LEWAT PENIPUAN HARUS DIHENTIKAN
Sejarah penjarahan terhadap kekayaan bangsa Indonesia harus
dihentikan. Dan ini harus dimulai sekarang. Kalau beberapa saat yang lalu
Bupati Sumbawa Barat membuat sejarah baru dalam hal presentase hasil produksi
perusahaan asing di bumi Sumbawa Barat, dari hanya sekedar 2% menjadi 10%, maka
sudah saatnya Bupati dan para Wakil Rakyat di DPRD Banyuwangi yang didukung
mutlak oleh konstituensinya memberikan contoh kepada seluruh bangsa Indonesia
dalam menyejahterakan rakyatnya. Rakyat Banyuwangi harus bisa berdiri sama
tinggi dengan Modal. Ini artinya, rakyat Banyuwangi harus bisa menjadi partner
dari modal dengan hak yang sama dengan pemilik modal. Dengan kata lain, rakyat
Banyuwangi berhak atas 50% dari seluruh hasil produksi perusahaan. Ini yang
seperti dikatakan oleh Ir. Soekarno founding father kemerdekaan republik ini
pada tahun 1959, bahwa bangsa Indonesia harus bisa menjadi “partner modal”.
Karena jika kita tidak bisa menjadi partner modal kita akan menjadi “budak dari
modal”.
Sekarang mari kita hitung, berapa triliun rupiah yang kita dapatkan
jika kita berdiri menjadi partner modal. Dengan 50% dari seluruh hasil produksi
IMN seperti yang telah disinggung di atas, maka rakyat Banyuwangi dengan
kerjasamanya dibawah Pemda, Perhutani dan DPRD, akan mengantongi Rp.250 triliun
dari hasil pertambangan emasnya saja. Belum lagi jika pendapatan tersebut
merupakan gabungan dari seluruh hasil mineral yang ada, kita bisa mengantongi
Rp.7.500 triliun. Dengan uang sebanyak itu jika dikelola dengan aturan main
yang diatur oleh undang-undang yang menyejahterakan rakyat, tidak akan ada
orang miskin di Banyuwangi. Pemda Banyuwangi akan mampu menyekolahkan
anak-anaknya dari tingkat TK sampai S3 dengan beaya gratis. Pemda akan mampu
memberikan pelayanan kesehatan gratis pada seluruh penduduknya. Pemda
Banyuwangi bisa berbuat banyak dengan pendapatan sebesar itu. Sehingga saya
meyakini, tanah kelahiran ini akan mampu menghapuskan penghisapan manusia atas
manusia. Banyuwangi tidak perlu harus mengirimkan rakyatnya untuk menjadi TKI
atau TKW yang kita tahu pada akhirnya, kita tahu, itu hanya akan merendahkan
derajat bangsa di mata komunitas dunia.
ALTERNATIF LAIN
Diatas, adalah perhitungan berdasarkan pada asumsi jika kita mau
bekerja sama dengan modal asing dalam kesetaraan, dan modal asing mau menerima
kita sebagai partner. Tetapi jika mereka menolak kita sebagai partner dengan
pemahaman kesetaraan dalam segala hal, maka solusi yang harus ditempuh oleh
Pemda dan seluruh Wakil rakyat Banyuwangi harus melakukan moratorium eksplorasi
bahkan kalau perlu menghentikan semua kegiatan eksploitasi IMN. Kemudian Pemda
harus mengambil alih semua kegiatan melalui koperasi melalui kerjasama dengan
Perhutani dengan memberikan kesempatan pada rakyat untuk menjadi penambang
tradisional yang dikontrol oleh Perda yang akan dijalankan oleh Pansus Koperasi
yang telah dibentuk dalam kesepakatan bersama. Disini tenaga ahli lokal akan
diuji kemampuannya dalam mengolah sumber daya alam mereka sendiri untuk
kesejahteraan seluruh warga Banyuwangi, dan bahkan untuk seluruh rakyat
Indonesia.
Jika hal ini dijalankan, maka Pemda Banyuwangi akan menjadi pioneer
dalam menegakkan UUD Pasal 33 dan menjadi ujung tombak perubahan sistem
pertambangan di Indonesia yang selama ini hanya puas menerima 2% dari perusahaan-perusahaan
asing. Saat ini di Indonesia ada 69 pertambangan emas. Dan dari 69 tambang emas
tadi, Tumpang Pitu akan menjadi peringkat 10 besar. Dari perhitungan yang kami
lakukan, dari peringkat 1 ke peringkat 10 tambang emas tadi Indonesia bisa
menghasilkan Rp. 21.940 triliun. (Dalam hal ini perhitungan dibuat atas dasar
produksi emasnya saja tanpa menyertakan hasil produksi perak dan tembaganya).
Ini merupakan bukti bahwa negara Indonesia bukan negara miskin. Tetapi,
faktanya, dari Rp. 21.940 triliun tersebut berapa jumlah uang yang sudah dan
akan masuk ke dalam kas negara yang bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan
rakyatnya? Pertanyaan ini harusnya menjadi renungan para pihak penentu
kebijakan yang masih memiliki nurani sehat.
Oleh sebab itulah, dalam hal Tumpang Pitu saya menganjurkan agar
Pemda harus mengambil kebijakan yang tepat dan berani untuk menyelesaikan
masalah pertambangan di Tumpang Pitu. Dari penelitian saya beberapa hari ini di
daerah pesanggaran sampai ke kecamatan Bangorejo, saya menyaksikan betapa
dampak ekonomi telah menghantam kehidupan rakyat banyak di sekitar kawasan
pertambangan yang ditutup oleh aparat negara saat ini. Dan dampak ini akan
rebah seperti susunan domino di Kabupaten Banyuwangi. Mulai dari pedagang pasar
sampai warung kopi, mengeluhkan sepinya pembeli karena sirkulasi uang yang
biasanya berjalan lancar menjadi tersendat karena pertambangan tradisionil
telah ditiadakan. Dalam konteks sosiologi jika hal ini tidak diatasi dalam
waktu dekat, maka kemiskinan baru akan diciptakan oleh fenomena ini. Dan kita
tahu dalam konteks pemahaman sosiologi apa itu artinya bagi kehidupan rakyat
sebagai konstituen dan kehidupan politikus yang didukung oleh mereka.
Saya percaya tidak gampang memang dalam menyelesaikan permasalahan
IMN karena meskipun ada Undang-Undang No.22 tentang Otonomi Daerah telah
diberikan, kita dihadapakan pada Undang-Undang No.34. Tetapi saya yakin bahwa
ketika semua wakil rakyat Banyuwangi mau
dengan segala kerendahan hati mensosialisasikan permasalahan sebenarnya tentang
PENIPUAN DATA dan skema licik untuk melakukan penghisapan di tanah Kabupaten
Banyuwangi ini kepada rakyat Banyuwangi, maka tidaklah sulit bagi para Wakil
Rakyat mendapat dukungan politik dari mereka melalui referendum. Karena
tidak satupun manusia di muka bumi ini merasa bahagia untuk hidup terus dalam
penghisapan dan penindasan terhadap, harkat kemanusiaan mereka. Dengan
bangkitnya kesadaran melalui dialog massal antara para Wakil Rakyat dan
konstituennya akan melahirkan sebuah kekuatan politik yang luar biasa.
JALAN KELUAR
Permasalahan di Tumpang Pitu memerlukan penyelesaian yang bijaksana
dengan mengambil keputusan yang berani sebagai jalan keluarnya. Kebijakan Para
wakil rakyat harus dibangun atas dasar kesadaran nurani yang tinggi. Kesadaran
hati dan pikiran yang sehat dalam melihat masa depan dengan melibatkan
kesejahteraan anak cucu kita. Namun penyelesaian Tumpang Pitu tidak semudah
kita membalikkan telapak tangan. Seperti di atas telah saya singgung, INTREPID
melalui IMN dengan economic imperative demand-nya tidak akan begitu saja
menyerah. Mereka akan memanfaatkan perundang-undangan negara seperti IUP dan
lain-lainnya untuk mempertahankan apa yang telah mereka dapat. Karena kita
dihadapkan oleh Peraturan Pemerintah, maka penyelesaian masalah Tumpang Pitu
harus di ambil dari dua aspek yang saling berkaitan. Yaitu dengan menggunakan
pendekatan politik dan pendekatan ekonomi.
Pertama jika mengacu pada pendekatan politik, Pemda, Perhutani dan
Forum Masyarakat Perduli Banyuwangi, harus membentuk tim khusus dalam wadah
Pansus Tumpang Pitu. Kemudian Pemda dan seluruh Wakil Rakyat di DPRD harus
sepakat untuk memutuskan kebijakan moratorium untuk semua kegiatan eksplorasi
IMN di Tumpang Pitu. Dengan langkah ini Pemerintah Daerah, melalui Pansus Tumpang
Pitu yang melibatkan para pakarnya bisa melakukan penelitian serta penyelidikan
tentang seluruh kegiatan IMN selama 5 tahun belakangan ini. Apakah selama itu
IMN sudah melakukan kuwajibannya seperti kesepakatan yang mereka buat dengan
PEMDA? Apakah selama itu tidak pernah terjadi pelanggaran? Dan banyak lagi
penelitian yang pada hakekatnya. Pada waktu yang sama, dengan adanya moratorium
ini, para Wakil Rakyat bisa menciptakan ruang dan waktu untuk menggalang
kekuatan politik di tengah konstituen mereka dengan mensosialisasikan
fakta-fakta kegiatan pertambangan agar kesadaran rakyat mampu mendukung setiap
keputusan politiknya. Hal ini sangat diperlukan apabila langkah politik dalam
bentuk referendum nantinya menjadi opsi terakhir.
Kedua, memperkuat jaringan kerjasama antara Pemda, Perhutani dan
Forum Masyarakat Peduli Banyuwangi sebagai pengelola syah pertambangan dengan
memanfaatkan pertambangan rakyat untuk mengakumulasi modal yang diperlukan
untuk mengembangkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Perlu diketahui, dari
penelitian kami dari wawancara dengan 2 (dua) nara sumber yang menjadi
fasilitator para penambang emas di Tumpang Pitu yang beroperasi di Lampon dan
Pancer, pertambangan rakyat bisa menghasilkan Rp.5 triliun dalam 2 tahun
belakangan ini. Jadi akan lebih realistis bagi Pemda Banyuwangi untuk
memanfaatkan tambang rakyat dalam kontrol pemerintah untuk mengakumulasi modal
yang diperlukan dalm mengembangkan BUMD. Langkah ini harus diambil sebagai
perhitungan dalam mengambil sebuah kebijakan agar rakyat Banyuwangi tidak hanya
berdiri sebagai penerima komisi atau puas dengan hanya menerima Golden Share,
tetapi juga bisa sebagai pelaku kebijakan dalam menentukan masa depannya.
Ketiga, pada saat yang sama melakukan pengendalian ketat terhadap
kegiatan pertambangan rakyat dengan sistem perpajakan yang dikontrol oleh
Pansus Tumpang Pitu melalui badan koperasi yang diawasi oleh tenaga-tenaga ahli
yang punya panggilan pada komitmen berdasarkan pada kesadaran nurani
kemanusiaan dan keadilan. Pansus Tumpang Pitu harus bertanggung jawab terhadap
Pemda Banyuwangi dan Departemen Kehutanan dengan kuwajiban memberikan laporan
tertulis setiap bulan mengenai setiap penerimaan bulanan serta pengeluarannya.
Dalam hal ini peran Legislatif sangat penting untuk mengeluarkan Perda khusus
untuk ini. Namun Perda tersebut seyogyanya dibuat melalui musyawarah yang
melibatkan seluruh perwakilan rakyat Banyuwangi, termasuk lembaga-lembaga yang
dari awal memang perduli terhadap permasalahan pertambangan ini dan terpanggil
oleh hati nuraninya dalam menegakkan kesejahteraan serta keadilan untuk semua.
Jika ketiga hal tersebut di atas dijalankan, maka dalam hal ini
Pemda Banyuwangi akan dikenang sebagai ujung tombak percontohan politik
demokratis yang akan memiliki dampak luar biasa di Indonesia dan bahkan di
dunia internasional. Pemda Banyuwangi akan dikenang sepanjang sejarah
perpolitikan dunia sebagai Vanguard penegakkan demokratik kerakyatan sejati.
Namun itu semua hanya bisa terjadi jika para Wakil Rakyat Banyuwangi memiliki satu
komitmen yang berdasar pada UUD Pasal 33 dan melaksanakan komitmen tersebut
dalam langkah-langkah konkrit.
-------------------
Banyuwangi akhir Juli 2011