Seni Intelijen David Brooks, York Times, 2 April 2005
Tahun-tahun
antara 1950 dan 1065 menjadi zaman keemasan buku nonfiksi Amerika.
Penulis seperti Jane Jacobs, Louis Hartz, Daniel Bell dan David Riesman
memuntahkan banyak buku tentang masyarakat Amerika dan hubungan bidang
Internasional. Mereka mengandalkan diri pada sejarah, sastra, filsafat dan
agama untuk memahami pola sosial dan menangkap tren yang akan terjadi. Meskipun
buku itu gampang ditemukan di toko buku, metode mereka tidak dipedulikan. Kelompok
lain menolak pendekatan mereka yang di anggap generalis/humanis dan berusaha
membuat analisis sosial menjadi ilmu eksakta. Contohnya, bapak Intelijan Amerika Serikat,
Sherman Kent, berpendapat bahwa ilmu sosial dan analisis Intelijen membutuhkan
metode yang sistematis ”Lebih mirip metode ilmu Fisika” , katanya. Riset sosial
dalam perencanaan perkotaan, sosiologi, dan analisis Intelijen mulai menjiplak
ilmu Eksakta.
Sebuah makalah
seorang sarjana Yale, Sulmaan Wasif Khan, memperlihatkan perbedaan mencolok
antara dua cara memandang dunia itu. Khan membandingkan Perkiraan Intelijen
Nasional era 1960-an yang dibuat CIA berkaitan dengan Cina yang baru saja di
buka untuk umum dengan hasil analisis sarjana generalis seperti Donald Zagoria.
Perkiraan Intelijen CIA muncul seperti yang anda bayangkan : Kumpulan data tanpa emosi yang di buat teknisi anonim.
Mereka tidak menghubungkan pola berdasarkan pemahaman sejarah Cina atau membuat
generalisasi etos elite Cina. Pendekatan Zagoria agak berbeda. Mengandalkan pemahaman
mendalam terhadap sejarah dan masyarakat Cina, dia membuat gambaran dramatis
bagaimana harapan dan ketakutan pemimpin Cina.Ia membayangkan bagaimana kita
mesti mendekati Cina dan bagaimana mereka akan menafsirkan langkah-langkah
Amerika.
Analisis CIA
pada 12 November 1970 menyatakan kecil harapan kemajuan hubungan Amerika dengan
Cina. Zagoria sebaliknya menyatakan Cina
akan membuka diri. Zagoria yang benar, Henry Kissinger berada di Cina dalam
hitungan bulan setelah laporan CIA itu.
Tapi metode ilmiah yang digunakan CIA dan jargon teknisnya tampak lebih
dipercaya (dipakai untuk justifikasi anggaran yang lebih besar). Maka kita pun
selama puluhan tahun mendapat kegagalan intelijen yang sangat besar.
Minggu ini
panel bidang intelijen yang dibuat presiden menunjukkan kegagalan yang sama
dengan yang dibuat laporan lain. Mereka
menyatakan analisis intelijen ”memperlihatkan tidak adanya imajinasi”. Mereka menciptakan spesialisasi semu:
memisahkan analisis regional, teknikal, dan terorisme. Mereka menciptakan lapisan-lapisan analisis
kasar. Komisi ini melakukan apa yang
sudah dilakukan ditempat lain. Mereka
mencoba mengorganisasi birokrasi analisis agar hasilnya lebih baik.
Tapi masalahnya
bukan birokrasi. Ini soal dasar berpikir
manusia sangat bagus menggunakan naluri dan imajinasi untuk memahami orang
lain. Kita tahu, dari kemajuan bidang
neuroscience yang dipopulerkan Malcom Gladwellad dalam Blink, bahwa pikiran
manusia bisa melakukan sesuatu yang fantastis dalam mengenali pola bawah sadar. Ada proses tak tampak yang kita gunakan
untuk menafsirkan dunia dan orang di sekitar kita. Saat anda mencoba menganalisis masalah
manusia menggunakan proses yang sistimatis, prosedural dan birokratis seperti
yang dilakukan CIA, anda akan mematikan alam bawah sadar itu. Anda tidak menghasilkan alasan mengapa ada
kejadian tertentu.
Saya percaya
masyarakat intelijen sudah benar berubah saat melihat analisis yang dikirim ke
pusat pelatihan memperlihatkan pelajaran Thucydides, Tolstoy dan Churcill bisa
memahami perilaku manusia. Saya percaya
sistem sudah diperbaiki saat membuat kebijakan melihat laporan lain yang
ditandatangani orang yang berbeda, yang tidak lagi diajukan sebagai laporan
anonim, seragam, birokratis dan dengan item yang tampak seakan-akan hasil
konsensus ilmiah. Saya percaya sudah ada perbaikan saat ada spanduk besar di
depan Markas CIA bertulisan ”Pikiran
individu lebih baik dari pada kelompok”.