Proxy dan Asymmetric War, Ancaman Paska Pilpres 2014
Iklan
Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1nyGras
Media mungkin jarang bisa menggiring apa yang masyarakat pikirkan. Tapi, secara menakjubkan, media selalu berhasil mendikte pembacanya untuk memikirkan tentang apa – Bernard Cohen, Professor Emeritus bidang Fisika, di University of Pittsburgh
Habis Pilpres terbitlah Asymmetric War.
Paska Pilpres 2014, konon, sejumlah kepentingan beramai-ramai melancarkan jenis perang baru. Yakni Perang Asimetrik dan Perang Boneka (Proxy & Assymetric Wars). Tidak seperti lazimnya Perang Konvensional, perang jenis baru ini tak saling menghadapkan arsenal dan persenjataan. Tak mengandalkan Tentara melawan sepasukan Tentara lain. Melainkan, menggunakan pengaruh Media (cetak, elektronik, maupun digital), jaringan social media, jurnalisme warga, dan pengaruh propaganda dan psywar. Senjata yang digunakan, berupa penyesatan informasi, pengalihan isu, provokasi, teror dan agitasi.
Cuma sebentar mereda sejurus puncak Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijjriah, ternyata perang isu, pernyataan dan penyesatan kini kembali riuh menggaduhkan lansekap media dan Media. Di tengah era keterbukaan informasi, yang ditandai terjadinya euforia social media dan jurnalisme media ala warga, ternyata kampanye disinformasi, penyesatan, fitnah, dan penghasutan, kini makin menjadi pilihan cara yang mudah, untuk menghancurkan reputasi dan kredibilitas pesaing.
Apalagi, karakter publik di sini, mudah sekali terhasut, diprovokasi dan saling dibenturkan. Padahal, semakin kegaduhan sukses memprovokasi publik, dan bentrok antar-elemen masyarakat berlangsung berlarut-larut, semakin kita sendiri yang paling dirugikan. Karena pihak pelaku Asymmetric War, memang ingin kita saling diadu-domba. Saling menghancurkan diri kita sendiri. Membuat perhatian kita teralihkan. Sehingga mereka makin mudah menyerobot dan menguasai sebanyak-banyaknya sumber-sumber daya yang berlimpah di Indonesia. Posting ini, mengulas bagaimana kelompok super-rahasia Bilderberg Group, menggunakan modus yang sama, untuk mempengaruhi tatanan dunia.
Kenapa Asymmetric War perlu diwaspadai? Karena dibanding perang lazimnya, spektrum ancaman Asymmetric War lebih luas. Obyek sasarannya bukan cuma sebatas target militer. Tapi bahkan meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia. Makanya, senjata perusak yang digunakan, tak sekadar meriam, roket, peluru atau mesiu. Tapi hasutan, provokasi, pengalihan isu dan penyesatan informasi yang tendensius.
Asymmetric War adalah jenis perang Non-Militer. Cara, logika, metoda, taktik dan strateginya tidak konvensional. Tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku. Antarkekuatan yang saling berhadapan, tak perlu mengandalkan jumlah dan kecanggihan persenjataan pasukan. Bahkan yang saling berkonflik dan dibenturkan, tak perlu pihak yang berkepentingan. Cukup diwakili ‘pemain pengganti’. Cuma perlu mengandalkan orang suruhan. Makanya Asymmetric War ini biasanya juga sekaligus adalah Proxy War, alias Perang Boneka.
Ini, adalah jenis perang yang melibatkan kecanggihan teknologi informasi dan strategi komunikasi. Makanya, membedakan mana lawan mana kawan, sulit sekali. Pasalnya, serangan asymmetric war bersifat senyap. Hening. Tapi kehancuran yang diakibatkannya mendalam, meluas, dan sulit diperbaiki. Karena perang yang mengandalkan soft power ini, seperti diulas Basil H. Liddell di Buku Strategy ini, justru menyerang fikiran. Membengkokkan iktikad. Memelintir logika. Menghasut keyakinan. Meruntuhkan kepercayaan.
Jenis perang asimetrik ini popular, sejak berakhirnya perang dingin. Ditandai terjadinya perubahan taktik penerapan model perang konvensional, yang menggunakan cara-cara militer yang lazim. Menjadi bergeser ke jenis peperangan model yang baru samasekali. Dalam ranah diplomasi, jenis perang ini diistilahkan sebagai smart power. Lawan dari Perang Konvensional yang identik dengan hard power.
Tapi Asymmetric War ternyata juga sekaligus dimanfaatkan sebagai strategi kolonialisme baru, dari kepentingan di luar Negara. Baik penjajahan oleh kepentingan politik asing tertentu. Maupun kolonialisme korporasi, atau non-State institution lainnya.
Metodanya distraktif dan manipulatif. (biasanya) Melibatkan Lembaga penyandang dana, black operations atau klandestin, dan aktivitas intelijen. Targetnya instabilitas. Caranya, dengan mendiskreditkan kebenaran. Serta mendelegitimasi pengaruh kekuasaan. Yang ujung akhirnya, berupa penyerobotan atau penguasaan sumber-sumber daya alam atau kepentingan hajat hidup orang banyak.
Di Indonesia sendiri, perang Asymmetric ini terjadi sejak era konfrontasi menghadapi Belanda. Lantas berlanjut di era konflik dengan Republik Maluku Selatan (RMS). Ketika penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Juga saat berlangsungnya konflik Timor-Timur. Serta selama operasi menindak Gerombolan Pengacau Keamanan di Papua.
Sedemikian gawatnya operasi yang banyak menyasar remaja dan generasi muda, sehingga tak kurang dari Pangkostrad Letjen TNI Gatot Nurmantyo, awal 2014 silam, merasa perlu mengunjungi beberapa Kampus besar di Indonesia. Untuk mendiskusikan potensi ancamannya, dengan para Mahasiswa. Termasuk yang dilakukannya, adalah memberikan kuliah umum berjudul “Peran Pemuda dalam Menghadapi Proxy War“, di kampus Universitas Indonesia, Depok.
Waspadai Urutannya: Provokasi, Aksi Massa, Perampasan
Dalam Perang Konvensional, yang menjadi persenjataan pertama untuk tujuan memporak-porandakan kekuatan lawan, adalah serbuan dan aksi bombardierlewat skadron udara.
Pada tahap kedua, baru giliran pasukan Tank (kavaleri) yang maju. Tujuannya memberikan efek pukul yang lebih parah. Sehingga kekuatan musuh yang sudah dibikin babak-belur oleh serangan udara, makin dibuat cerai-berai dan compang-camping.
Setelah itu dilanjutkan serbuan pasukan infanteri. Demi makin bisa menusuk masuk ke ceruk-ceruk pasukan lawan yang tersisa. Sekaligus melakukan perebutan atas pusat-pusat kekuatan dan sumber daya pendukung lawan.
Dalam perang asymmetric yang Non Konvensional. Urutan logika serupa juga dipakai. Bedanya, senjata yang pertama digunakan mem-bombardier, adalah isu, gosip, rumor, atau fitnah dan informasi sesat. Ini dalam strategi asymmetric war diistilahkan sebagai tahapan conditioning. Atau ‘Pematangan’.
Berikutnya, demi mendapat efek kerusakan serupa seperti yang diakibatkan serbuan tank Kavaleri, maka dalam perang asymmetric, yang dikerahkan adalah massa. Ini diistilahkan ‘Tema’. Tujuannya untuk memperparah kerusakan. Mencetuskan kerusuhan. Sekaligus memantik suasana chaotic. Bikin kacau-balau, porak-poranda dan serba mawut. Persis seperti kondisi setelah dihantam meriam tank Kavaleri.
Lantas, dilanjutkan serangan pungkasan. Diistilahkan tahapan ‘Skema’. Berupa gerakan sabotase, penyusupan. Juga perusakan dan perebutan/penguasaan instalasi vital.
Ongkosnya Murah, tapi Daya Rusaknya Lebih Mengerikan
Secara beaya, dibanding perang konvensional, Asymmetric Warberbeaya relatif lebih murah. Tapi tingkat keberhasilannya tinggi. Selain itu, dibanding yang diakibatkan perang yang menggunakan senjata ‘biasa’, daya rusaknya pun, jauh lebih mengerikan.
Tak saja mengakibatkan kerusakan fisik secara geografis dan kerugian demografis. Tapi perang non-tradisional ini, juga mengakibatkan koyaknya idelogi. Menimbulkan distrust dan saling bercuriga satu-sama-lain. Meruntuhkan moral, rasa percaya diri, kebanggaan dan nasionalisme kalangan individu dan masyarakat. Bahkan bisa memberangus segala aspek sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendeknya, dampak kerusakannya meliputi aspek Politik-Ekonomi-Sosial-Budaya, termasuk Agama.
Dalam konteks ini, ulah penyerobot pulau-pulau terluar Indonesia, harus dilihat sebagai bagian dari tahapan perang tak konvensional ini. Begitu pun, klaim karya-karya kebudayaan dan adat-istiadat Suku-suku di Indonesia oleh negara tetangga. Termasuk, serangan masif para cyber warrior dan infiltrator virtual. Yang diam-diam menyusup, mengintai, menyadap dan merusak, tanpa sempat dicegah dan dilacak. Target operasi-operasi tadi, mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Isu Domestik yang Rawan Ditunggangi
Di tengah suasana gaduh seperti sekarang, ada beberapa isu yang mudah ditungganggi dan digunakan sebagai alat Asymmetric War. Di antaranya termasuk isu demokratisasi dan amandemen konstitusi atau perundangan. Kegiatan Pilkada, Pilpres, dan rangkaian terkaitnya. Pro-Kontra isu Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Atau kontroversi perlu-tidaknya dilakukan pemekaran wilayah atau penambahan provinsi baru.
Juga terkait pemberontakan dan isu separatisme. Pun konflik horizontal (antar-masyarakat atau melibatkan Ormas) antar-suku, agama, ras, dan antar-golongan. Termasuk juga, hiruk-pikuk pembahasan di jejaring media maupun Media, tentang isu fundamentalis-anarkis, radikalisme, hingga terorisme.
Gaduh tentang larangan mengenakan atribut, busana, atau perlengkapan yang diidentikkan agama tertentu di beberapa Provinsi adalah contohnya. Begitu pun, kegentingan terkait tudingan tindak pelanggaran HAM terhadap kaum penganut keyakinan yang minoritas jumlahnya. Lantas, wacana pengawasan tempat ibadah, demi –katanya—menangkal radikalisme. Pun, yang sedang hot saat ini, isu dan tudingan anti-pluralisme terkait State of Iraq and Syria (ISIS). Serta heboh keterlambatan pemblokiranakses videonya.
Sekadar me-refesh ingatan, sejumlah Media, dengan melansir temuan lembaga pemeringkat asing, juga pernah memberi label Indonesia sebagai Negara Gagal. Media asing tertentu juga menyoroti dampak makin parahnya praktik KKN akibat tidak berdayanya aparat mengatasinya. Begitu pun, mencibir kegagalan diplomasi Indonesia di kancah dunia. Atau, blunder penanganan masalah HAM, Lingkungan Hidup, serta Politik-Pemerintahan.
Media asing juga sempat hiruk pikuk memberitakan masih rendahnya capaian keberhasilan pembangunan Indonesia. Pun menyoal ranking indeks korupsi nasional. Ditambah lagi, heboh pengungkapan skandal asmara para pejabat publik.
Itu semua, sukses menjadikan Indonesia jadi obyek bulan-bulanan Media dalam maupun luar negeri. Padahal, semua yang diuraikan tadi, patut diduga, merupakan skenario terencana pihak-pihak tertentu. Bagian dari operasi senyap. Yang secara sistematis, bertujuan merongrong kewibawaan dan kedaulatan Indonesia.
Semua tadi bertujuan bikin mental masyarakat letih. Logika akal sehat masyarakat dibuat penat. Kebanggaan dan nasionalisme masyarakat dikubur hidup-hidup. Ujung-ujungnya, menciptakan bibit sikap antipasti, ketidakpercayaan, bahkan perlawanan kepada simbol-simbol Negara. Dan ketika Kekuasaan sudah terdelegitimasi, maka target penyerobotan dan penguasaan sumber-sumber daya, yang menguasai hajat hidup masyarakat, pun, lebih gampang mereka lakukan.
Asymmetric Berkembang Menjadi Asangymetric Warfare
Semua contoh penggorengan isu yang disebutkan tadi, mudah disalah-gunakan menjadi platform. Untuk ditungganggi kelompok berkepentingan tertentu. Yang kemudian menggunakannya untuk memperalat masyarakat awam. Sehingga seolah-olah timbul pergerakan massa akar rumput. Yang (biasanya) diidentikkan dengan kerusuhan dan anarkisme.
Operasi Asymmetric serupa yang digencarkan Amerika, disebut-sebut menjadi kunci penghancuran Uni Soviet, yang menandai berakhirnya era Perang Dingin. Juga dianggap penyebab bangkrutnya ideologi Komunisme secara Global. Tapi istilah Asymmetric War sendiri, justru makin populer, paska terjadinya serangan atas Gedung World Trade Centre dan Markas Angkatan Bersenjata AS, Pentagon, pada 2001.
Dalam sejarah konflik internasional, Perang Irak disebut sebagai jenis Perang Symmetric/Conventional terakhir yang melibatkan personil militer AS. Sejak setelah itu, sejalan pencanangan kampanye perang global anti-terorisme, strategi Asymmetric War makin diposisikan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pertahanan dan militer AS.
Dalam perkembangannya, sejalan pergeseran dimensi baru Perang Modern, yang ditandai maraknya Social Media dan serangan cyber antar-negara, berkembang pula yang disebut Assangymmetric Warfare.
Diilhami oleh skandal peretasan jejaring Internet militer oleh Julian Assange, jenis perang Assangymmetric Warfare ini menjadikan makin sulit bagi kalangan awam, membedakan: Mana penyerobotan yang bisa dikategorikan kriminalitas biasa ala hacker (yang bertujuan memeras dan atau berorientasi ekonomi). Mana, yang pelakunya kalangan hackivist (yang melakukan peretasan demi tujuan pemenanganm politik, sabotase, atau spionase). Serta apa bedanya, dengan serangan cyber oleh suatu Negara atas kedaulatan Negara lain.
Beda antara ketiganya tipis. Aksinya pun sama-sama tak kasat mata. Tapi kerugian yang ditimbulkan serangan ini, bisa sangat luarbiasa. Buku The Complexity of Modern Asymmetric Warfare (International and Security Affairs) yang ditulis Max G. Manwaring ini, menarik sebagai perspektif.
Nurani, Nalar dan Logika Akal Sehat, Kuncinya
Hanya dengan mengandalkan peraturan dan perundangan, dan berharap kita bisa mampu menetralisasi ancaman Asymmetric Warfare, memang tak cukup. Yang juga dibutuhkan adalah hati nurani masyarakat yang tetap terjaga. Fikiran yang tetap jernih. Nalar dan logika akal sehat pun musti dijaga tetap tegak. Begitu pun nyali untuk berupaya melawan lupa.
Cara menyikapi asymmetric war dengan tepat, mungkin bisa dimulai dari hal sederhana. Syaratnya, masyarakat harus berupaya tak mudah terpancing iming-iming. Tak mudah dihasut dan diprovokasi dengan hal-hal tak pasti. Bersikap skeptik, saat mengkonsumsi informasi. Artinya, jangan mudah menelan mentah-mentah apa saja yang dikatakan Media atau via social media. Musti berani berkata ‘Tidak’, dan menolak. Ketika ada yang menyuruh-nyuruh berbuat –yang seakan-akan– demi kepentingan Bangsa-Negara, tapi kenyataannya justru berdampak sebaliknya. Waspadalah. Waspadalah. \kris moerwanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar