Pemimpin Bangsa.
Jatuh bangunnya kekuasaan sebuah negara akan
sangat bergantung oleh kekuatan yang berasal dari luar wilayah negara itu.
Dalam hal ini perubahan kepemimpinan politik suatu negara juga lebih ditentukan
oleh permainan terselubung kelompok-kelompok kepentingan yang berada diluar struktur pemerintahan.
Pemimpin yang ingin bertahan lama dalam kekuasaan nya harus pandai-pandai memberikan pelayanan kepada kelompok kepentingan
seperti yang disebutkan oleh Michael Man
dalam bukunya Source of Power 1986 kelompok itu dibagi menjadi empat kelompok
yakni kelompok penguasa modal (materi),
kelompok politisi, kelompok penguasa gagasan (cendikiawan, tokoh-tokoh
masyarakat yang berbasis masa terutama tokoh agama), dan kelompok militer [1].
Berapa besar kekuatan kelompok tadi mempengaruhi wujud negara tergantung dari bagaimana
permainan ke empat kelompok terhadap pemimpin negara bersangkutan.
Soekarno yang kharismatik berbasis cendikiawan dan politis, telah
membawa Indonesia
menjadi negara kesatuan, berhasil membuat keseimbangan kekuatan bagi empat kelompok kepentingan tadi. Soeharto yang membangun
kekuasaan melalui kelompok militer juga telah berhasil membawa Inonesia dalam
keadaan aman selama ini dan masuk menapaki era pembangunan , dan Soeharto juga
berusaha merajut ke empat kelompok tadi dengan lebih ketat dan
teliti, sehingga memberi kesan pada kekuatan eksternal tentang bangkitnya
kekuatan “raksasa tidur” Indonesia yang berbasis masa Islam yang berkoalisi
dengan kekuatan militer.
Soeharto, militer maupun kelompok Islam
ketika itu terlena dalam kekuasaan
militer dan kemayoritasan ummat, sehingga tidak peka lagi terhadap ancaman
minoritas internal yang berbasis mayoritas eksternal yang mempergunakan issue
sensitif yang masih diderita oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Issu yang berhasil
menggugah amarah rakyat adalah ancaman
terhadap bahaya kelaparan dan penderitaan yang berkepanjangan melalui
terjadinya penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dollar. Hancurnya nilai
rupiah inilah yang mengungkit kemarahan
kaum intelektual melalui mahasiswa, dengan membawa issu Demokratisasi yang selama ini dibungkam oleh Soeharto dan kemarahan
sekelompok masyarakat yang berkepanjangan tadi telah membuat aparat
militer (yang selama ini terlalu yakin akan kekuatannya tadi), bertindak diluar
kapasitas yang seharusnya dilakukan sehingga terjerat issu pelanggaran HAM. Skenario rontoknya Soeharto hanya terjawab melalui teori
kospirasi global yang amat sulit terdeteksi buktinya
Habibie tidak bisa hidup lama karena pada
masanya yang terjadi adalah
kolapsnya sebuah bangunan. Dia hanya
menjadi pelengkap dalam timbunan
runtuhnya pilar kekuasaan. Soeharto Gus Dur
dan Mega yang dipilih melalui proses “harapan” bangsa, mengawali kerja
besar dengan merajut kekuatan yang selama ini kolaps, ataupun bila sudah tidak
kolaps, Gus Dur tengah membangun sebuah rumah melalui sisa puing-puing bangunan
yang rontok tadi atau membangun dari ke empat pilar kekuatan bangsa itu juga
tengah dalam keadaan kolaps. Bangunan bangsa secara fisik nampaknya tidak
banyak yang bisa dilakukan Gus Dur yang berbasis kelompok cendikiawan dan agama
tadi. Melalui basis kekuatan yang agamis
tadi, kesalahan masa lalu bangsa Indonesia ini dapat “disadarkan” melalui
fatwa fatwa kiai Presiden Gus Dur secara moral dan immaterial melalui
pendekatan lintas segala agama, yang
akan menjadi basis pembangunan masa depan bangsa . Melalui profil Gus Dur image
Barat terhadap muslim akan berangsur
merubah. International Herald Tribune,
21 Oktober 1999 menyebut Gus Dur sebagai
Moderate, Tolerant, and Impetuos
telah membalikkan pandangan Media Barat yang selama ini memandang muslim
sebelah mata sebagai agresif, eksklusif
dan militan[2] .
Sebuah bangsa akan kuat dan besar bila kelompok sipilnya yang diwakili
oleh politisi akan bergandengan tangan dengan kelompok militernya [3].
Makanya, untuk menjadi bangsa yang besar, kriteria pemimpin masa depan bangsa Indonesia bukan hanya ia yang mampu mengakomodasikan ke
empat kelompok yang berkepentingan, namun sesungguhnya si calon pemimpin itu
sendiri seharusnya terdiri dari komponen
ke empat kelompok kepentingan. Ia harus memiliki “ empat karakter dari sononya” ( bukan asessoris) 1. berbasis pribadi
penguasa kekayaan materiil yang dermawan dan 2. berbasis penguasa gagasan
kekayaan immateril ( cendikia, agamis) yang teruji, dengan kata lain kelak ia akan didukung oleh kelompok cendikia
dan agamis, 3. berbasis pribadi militer yang tidak arogan yang kelak ia akan
diterima dan didukung oleh kelompok masyarakat militer dan sipil dan ke 4.
berbasis wawasan politik yang berkepribadian mengakar pada hati nurani rakyat Indonesia,
yang hingga hari ini masih hidup dalam kesederhanaan.
Nampaknya
ciri pemimpin yang berkualifikasi diatas
tadi telah dinanti dan menjadi dambaan
rakyat bawah dalam pomeo “satrio
piningit”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar