PEMBERSIHAN ETNIK (2/2)
GEOPOLITICAL TUG OF WAR
Sat, 10.26
By : Arifin Mufti
Sejumlah teman (pria dan wanita) ingin mengetahui lebih lanjut tentang Myanmar dan Rohingya (di wilayah Rakhine). Apa boleh buat, karena ditanya terus, maka disajikan secara ringkas – dengan gaya bahasa bebas - supaya mudah .
Tapi bacanya santai saja ya – jangan bawa perasaan – maklum, agak sensi.
Istilah “Tug Of War” dalam olah raga adalah lomba TARIK TAMBANG, atau adu kuat tarik tambang. Dalam geopolitik artinya adu kuat/pengaruh memperebutkan satu wilayah strategis biasanya antara Barat vs China di Asia.
Klasifikasinya, dibawah “proxy war”.
Kita mulai dengan Sidang Tertutup Dewan Keamanan PBB (UNSC) yang dihadiri 15 negara di New York, Rabu 30 Agustus 2017. Inggris, Matthew Rycroft, mengajukan usul mendiskusikan isu pembantaian ROHINGYA di Myanmar. China menolak dengan keras, dan sangat keberatan (AFP, 31/8).
Demikian juga bulan Juni lalu, ketika diusulkan investigasi adanya Pembersihan Etnik di Myanmar oleh tim PBB, China MENOLAK. Bulan Maret sebelumnya juga sama ditolak China. (The New York Times, The Washington Post, The Elevennews).
Tim PBB, bulan Juni, juga tidak bisa masuk Myanmar karena ditolak visanya oleh Pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar didukung China sepenuhnya, sehingga berani menolak (The Eleven).
Menjadi menarik, ketika wakil dari Inggris berkata pada Sidang DK PBB: “ Kami bersama yang mendukung kepemimpinan Aung San Kyi masih respek sebagaimana sebelumnya” (AFP).
Ada banyak kepentingan sejumlah Negara-negara besar di Myanmar yang diwakili Korporasi dunia disana, keamanan investasi. Utamanya Inggris, Amerika, China, Korea Selatan, Uni Eropa dan sejumlah Negara Teluk.
Lalu apakah Pembersihan Etnik Rohingya hanyalah peristiwa insidentil saja?
Jawabnya, tidak.
Oktober 2015, dari dokumen yang bocor di Inggris – “International State Crime Initiative (ISCI) di Queen Mary University di London menyimpulkan bahwa Rohingya yang menduduki wilayah Rakhine State menghadapi ancaman proses genosida tahap akhir. Dokumen yang dimiliki pemerintah Inggris bersumber dari intelijen di Myanmar, memperlihatkan rencana yang menyangkut “pembersihan secara masal yang telah disiapkan oleh Pemerintah Myanmar Tingkatan Tertinggi. Diungkapkan oleh jurnalis Nafeez Ahmad PhD, spesialis “Investigative Report dari The Sydney Morning Herald dan The Age, media dunia di Australia. Dimuat juga di Majalah The Echologist dan Harian lokal di Timur Tengah.
Laporan tersebut meliputi rencana “perkosaan, pembantaian oleh masyarakat, penahanan atas kasus hukum, penyerobotan tanah, pembakaran rumah, isolasi oleh Pemerintahan, menyudutkan Rohingya Muslim dengan sentimen keagamaan (pemeluk Budha vs Muslim), pembakaran, menghabisinya atau mengusirnya. Dimulai dari hak pilihnya dihilangkan, job dan hak memiliki tanah dan diusir atau di eliminasi dengan tidak diberi identitas. Walaupun dalam sejarah, mereka umumnya sudah ada di Myanmar sejak abad ke-8 M.
Itu semua, salah satunya (selain sentimen perbedaan agama) karena wilayah Rakhine dan Sanghan menyimpan, merujuk laporan Departemen Perdagangan dan Investasi Inggris (UKTI), kandungan minyak senilai 3,2 juta barel dan cadangan LNG yang sangat besar – yang diketahui juga oleh KORPORASI Dunia dibidang Energi (Inggris, Amerika, UE, China, Korea Selatan dan sejumlah perusahaan energi Negara Teluk).
Penduduk disana harus pergi, karena akan digunakan sebagai jalur pipa minyak, industri energi dan “Deep Sea Port” akses ke Lautan Hindia.
Contoh saja, “parallel gas pipeline” sejak tahun 2014 telah mengalirkan 4 milyar meter kubik metana dari Myanmar dan Qatar ke China dari pelabuhan Kyaukpyu di Rakhine State (lokasi penduduk Rohingya).
Era Barack Obama, Aung San Suu Kyi dilih sebagai “proxy”, dibina dan didukung oleh Uni Eropa dan Amerika untuk melawan rezim militer dan membendung pengaruh Komunis China, mengamankan asset sejumlah Korporasi, reformasi ekonomi dan politik serta “proses demokratisasi” yang mengarah pada manfaat ekonomi, sejak tahun 2011.
Sehingga akhirnya berhasil, memenangkan Pemilu di tahun 2016, menumbangkan rezim militer – dipuji oleh UE sebagai pemilu demokratis, adil dan transparan , didukung media dunia (media korporat) bisa memenangkan rezim militer dan diangkat sebagai Pemimpin Myanmar (de facto leader). Walaupun, semua menutup mata – hak pilih masyarakat Rohingya tidak diakui – ada jutaan pemilik suara Muslim dinyatakan tidak syah.
Presiden Obama dua kali datang ke Myanmar mengunjungi Aung San Suu Kyi (2012 dan 2014), pertama dalam sejarah Amerika, seorang Presiden dua kali mengunjungi Myanmar. Amerika begitu dekat dengan Myanmar.
Kesalahan Donald Trump.
Begitu Trump dilantik, ia tidak berkomunikasi dengan Aung San Suu Kyi. Padahal Trump melakukan kontak dengan Thailand, Vietnam dan Filpina yang mulai merapat ke China. Menurut staf Kepresidenan, karena dianggapnya, Myanmar tidak akan masalah, tetap berkiblat ke Barat.
Namun, tiba-tiba April 2017, Aung San Suu Kyi mengunjungi Beijing bertemu dengan Pemimpin China, Xi Jinping. Dua kali dalam tahun 2017. Pemerintahan Amerika “grogi”, menurut The Washington Post.
Penasehat Trump menganjurkan agar Wakil Presiden segera datang ke Jakarta, bulan April 2017, sehari setelah pilkada Jakarta, setor muka ke Indonesia. Selain menanyakan Freeport. Sambil membawa pesan dari Trump, bahwa pada November tahun ini, Presiden AS akan hadir pada pertemuan ASEAN.
Dalam kesempatan lain juga berjumpa dengan RI-2, ingin berkunjung ke Masjid Istqlal yang fenomenal. Serta ingin berdiskusi dengan pemuka agama di Indonesia. Dimata, Mike Pence, Indonesia adalah Negara yang memberi inspirasi kepada dunia bagaimana toleransi banyak agama, budaya, etnis diterapkan di Nusantara (CNN, BBC) - disaat Negara lain sedang kesulitan menjaga toleransi dan Islamofobia, termasuk di AS sendiri.
TERLAMBAT
Myanmar sudah sangat dekat dengan China (silent operation) yang membawa YUAN sebagai bantuan dana pinjaman untuk membangun berbagai infrastruktur – termasuk bidang energi diwilayah pemukiman Rohingya, Rakhine State.
The New York Times, bulan Juli melaporkan “ CHINA memberi banyak perhatian ke MYANMAR, sedangkan Trump matanya entah kemana?”
Untuk mengamankan investasi, wilayah tersebut harus stabil dan aman. Lahan harus dibebaskan.
China dan Myanmar memiliki kesamaan pandangan untuk bersikap lebih keras terhadap Rohingya Muslim, menjalankan rencana yang telah ada (The Ecologist). Pipa besar dan panjang yang akan mengalirkan minyak dan LNG ke China dibawah BUMN eneriy China (CNPC). Membangun “deep sea port” di Kyaupyu, di pelabuhan Rakhine wilayah Rohingya yang memberi akses ke Lautan Hindia, senilai, 7.3 milyar dolar – serupa dengan Deep Sea Port yang akan dibangun di Meikarta. Termasuk pembangunan “wilayah Industri” – mengikuti proyek Global China – “One Belt, One Road”. Total senilai 1 T dolar bagi pembangunan Myanmar (TNYT).
Progran “ethnic cleansing” dijalankan makin massif untuk mengusir penduduk Rohingya. Penduduk Rohingya dengan berbagai cara terusir, mengungsi, dihabisi dan sebagian melawan dengan senjata seadanya.
Media Barat dan Myanmar menyebutnya beragam bagi perlawanan Rohingya, milisi, pemberontak, Bengali Radikal dan Inggris menyebutnya “teroris”. Mereka menyerang Polisi untuk diambil senjatanya.
Menurut Nafeez Ahmad, pembersihan etnik akan berlangsung terus. Konflik bukanlah suatu kebetulan, tetapi “by design”.
Setiap laporan PBB di Dewan Keamanan untuk menyelidiki pembantaian penduduk Rohingya di Myanmar, akan ditolak oleh China. Negara-negara Baratpun mendua, tidak sepenuh hati, karena ada kepentingan Korporasi mereka di wilayah konflik dan sumber hidrokarbon, oil, LNG, jalur pipa minyak dan pelabuhan.
Ini laporan The Ecologist lebih lanjut.
"This includes ethnically cleansing the Rohingya coastal communities in Kyaukpyu, Rakhine. "Much of the attention has been on the pipeline's diagonal path across Burma and the role of the military in securing it", reports Forbes. "But there are also concerns about the impact on Kyaukpyu and other coastal areas."
Nafeez Ahmad PhD dari The Sydney Herald Tribune menyebut Rohingya sebagai “korban” Geopolitical Tug Of War" di Asia selain memang sentimen agama yang dikobarkan di Myanmar karena Islamofobia.
Aung San Suu Kyi, seorang wanita (de facto leader), ternyata tidak mencerminkan sebagai Pemenang Noble, tetapi ia seorang politisi yang sangat mungkin terkooptasi atau dibawah pengaruh para Jendral lama yang masih berkuasa di Myanmar dan kini dekat dengan China. (CNNIndonesia 1/9).
“China and Myanmar have also found common cause in their hard line on Muslims” (The New York Times).
"China dan Myanmar juga menemukan penyebab umum dalam garis keras (radikal) mereka terhadap umat Islam" (The New York Times).
Rohingya korban “Geopolitical Tug Of War”, berada di waktu dan tempat yang salah – ada kandungan Hidrokarbon dan tarik-tarikan pengaruh di wilayah ekonomi. (The Ecologist).
Negara-negara yang terlibat di dalamnya tidak akan pernah bisa adil.
Semoga ada jalan untuk menyelamatkan mereka yang tertindas.
Foto 1, credit MCR, kamp Rohingya yang dlhancurkan militer Myanmar, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar