Kekuatan Media.
Media telah masuk menjadi kekuatan utama didunia nyata, kasar kata dunia digenggamnya. Namun besarnya kekuatan ini tidak disadari sepenuhnya oleh insan media, makanya banyak kasus terjadi semata karena “innocent” nya insan media. Dibanding dengan kekuatan Militer, Kehakiman, Kejaksaan, Polisi, maka kekuatan media jauh diatas mereka, karena media bermain disela-sela wilayah kekuatan riil dengan cara melakukan konglomerasi, penetrasi kognitive yang dikemas untuk dijual secara ekonomi, dalam hitungan detik “paket rudal” itu telah bersarang dibenak ratusan juta manusia dimanapun berada secara serempak.
Dipakai koridor etis dalam mengemas, karena akan di gunakan langsung oleh rakyat. Koridor etika, apakah cukup ?. Tolok ukur etika sangat tipis, dan ketika suatu saat dicapai kesepakatan etika karena masyarakat telah matang berdemokrasi juga insan media telah matang jiwanya sebagai insane informatika, sayangnya trial and error sudah menghancurkan benak dan moral pengguna informasi secara permanent, bagaimana menghapus rekaman otak suatu tayangan kekerasan, pornografi, imaginasi mistik dst nya dari benak manusia ?
Kupas tuntas, bidik, target dst telah menelanjangi sisi kehidupan manusia profesi dijalur hitam seperti pencoleng, perampok, pemerkosa, narkoba, atau jalur lain seperti artis dengan ngebornya, kawin cerai, poligami, dokter dengan mal prakteknya, militer dengan pelanggaran HAM nya, sayangnya profesi insan media belum terjamah, apalagi yang bermasalah, nampaknya tertutup rapat karena etika seprofesi, lalu kapan rakyat boleh tahu ? Bahwa booming bisnis media juga telah mengangkat kelas ekonomi insan media, bolehkah rakyat tahu kekayaan atau sisi kehidupan pribadi mereka ?
Inilah satu kelemahan bila semata bersandar pada jalur etika. Bila Panglima stasiun TV “Q” agak sholeh dibanding station TV “Z” yang koboi, siapa yang menegur, sementara “kopral/sersan/letnan”yang membawa senjata “rudal” dilapangan sebagai reporter yang muda, cerdas, intelek, yang berkekuatan penuh ( dukungan tugas, uang saku, sarana tugas, dukungan moril dan material masyarakat secara pribadi ) berbaur dan menghidupkan imaginasi rakyat jelata yang innocent, siapa yang menegur tingkah laku mereka ( yang tentunya tersembunyi dari senjata kamera) ?
Ersa Siregar yang wafat dimedan tempur seharusnya gugur sebagai pahlawan bangsa, mengapa bangsa ini diam saja dan tidak ada mau menyuarakan hal ini ? Bila seorang prajurit yang dilengkapi ilmu, perlengkapan perang gugur dimedan perang, lumrah dapat penghormatan, namun bila Ersa berbekal otak, nurani, pena dan kamera gugur, ia telah melampaui tugas wewenang dan tanggung jawabnya, makanya pantas diberi gelar pahlawan. Sebagai ilustrasi, bila ada 4 grup melaksanakan tugas Negara selama 2 tahun yakni grup militer, mahasiswa/budayawan, wartawan dan TKI ternyata setelah kembali tugas grup terbanyak meninggal, luka dan cacat adalah grup TKI, apakah mereka tidak pantas menyandang gelar atau mendapat kehormatan dari Negara sebagai pemegang bintang jasa pahlawan devisa yang layak disematkan oleh Departemen Tenaga Kerja ( TKI berjuang langsung masuk kedaerah inti musuh/keluarga asing, tanpa bekal senjata apapun, keilmuan yang sederhana, namun keberanian dan tekad yang sangat besar, dibanding dengan tentara yang dibekali ilmu dan peralatan perang ), seperti juga para pejuang keilmuan bahwa selain gelar disandang, ia pantas mendapat bintang jasa bidang keilmuannya dari Departemen Pendidikan.
Ketika dunia hanya Adam dan Hawa, Allah SWT memberikan pencerahan /informasi kepada mereka secara bertahap melalui firman-firmannya satu persatu , kemudian melalui nabi dan rasulnya bertahap dan sistematis Tuhan menurunkan ilmu Nya, hari ini dunia di bom dengan miliaran informasi secara serentak, bagaimana manusia mampu menyerap atau memilah yang benar tanpa acuan agama ?
Bila insan media waspada dan sadar bahwa ia adalah perpanjangan tangan secara langsung dari informasi Tuhan, yang mana Tuhan sangat berhati-hati dan disiplin dalam menyebarkan informasi kepada manusia yang “pandai” ini, maka hari ini harus ada komitmen moral dari insan media, bahwa bangsa Indonesia perlu diselamatkan dari booming informasi, dan prioritasnya adalah insan media menjadi perekat moral bangsa, bukan lagi penyiar informasi , atau penyeimbang berita, namun sebagai pilar pemersatu moral bangsa yang bekerja dengan nurani mempersatukan serpihan-serpihan moral yang dulunya juga terserak akibat rudal media yang berisi muatan ideologi asing, yang hanya bernuansa mencari kebebasan duniawi, tanpa memperhatikan budaya bangsa, apalagi rambu akhirati, selamat berjuang !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar