Sabtu, 24 September 2011

Seni Intelijen, David Brooks,

Seni Intelijen, David Brooks, York Times, 2 April 2005

Tahun-tahun antara 1950 dan 1065 menjadi zaman keemasan buku nonfiksi Amerika. Penulis seperti Jane Jacobs, Louis Hartz, Daniel Bell dan David Riesman memuntahkan banyak buku tentang masyarakat Amerika dan hubungan bidang Internasional. Mereka mengandalkan diri pada sejarah, sastra, filsafat dan agama untuk memahami pola sosial dan menangkap tren yang akan terjadi. Meskipun buku itu gampang ditemukan di toko buku, metode mereka tidak dipedulikan. Kelompok lain menolak pendekatan mereka yang di anggap generalis/humanis dan berusaha membuat analisis sosial menjadi ilmu eksakta. Contohnya, bapak Intelijan Amerika Serikat, Sherman Kent, berpendapat bahwa ilmu sosial dan analisis Intelijen membutuhkan metode yang sistematis ”Lebih mirip metode ilmu Fisika” , katanya. Riset sosial dalam perencanaan perkotaan, sosiologi, dan analisis Intelijen mulai menjiplak ilmu Eksakta.

Sebuah makalah seorang sarjana Yale, Sulmaan Wasif Khan, memperlihatkan perbedaan mencolok antara dua cara memandang dunia itu. Khan membandingkan Perkiraan Intelijen Nasional era 1960-an yang dibuat CIA berkaitan dengan Cina yang baru saja di buka untuk umum dengan hasil analisis sarjana generalis seperti Donald Zagoria. Perkiraan Intelijen CIA muncul seperti yang anda bayangkan : Kumpulan data tanpa emosi yang di buat teknisi anonim. Mereka tidak menghubungkan pola berdasarkan pemahaman sejarah Cina atau membuat generalisasi etos elite Cina. Pendekatan Zagoria agak berbeda. Mengandalkan pemahaman mendalam terhadap sejarah dan masyarakat Cina, dia membuat gambaran dramatis bagaimana harapan dan ketakutan pemimpin Cina.Ia membayangkan bagaimana kita mesti mendekati Cina dan bagaimana mereka akan menafsirkan langkah-langkah Amerika.

Analisis CIA pada 12 November 1970 menyatakan kecil harapan kemajuan hubungan Amerika dengan Cina. Zagoria sebaliknya menyatakan Cina akan membuka diri. Zagoria yang benar, Henry Kissinger berada di Cina dalam hitungan bulan setelah laporan CIA itu. Tapi metode ilmiah yang digunakan CIA dan jargon teknisnya tampak lebih dipercaya (dipakai untuk justifikasi anggaran yang lebih besar). Maka kita pun selama puluhan tahun mendapat kegagalan intelijen yang sangat besar.

Minggu ini panel bidang intelijen yang dibuat presiden menunjukkan kegagalan yang sama dengan yang dibuat laporan lain. Mereka menyatakan analisis intelijen ”memperlihatkan tidak adanya imajinasi”. Mereka menciptakan spesialisasi semu: memisahkan analisis regional, teknikal, dan terorisme. Mereka menciptakan lapisan-lapisan analisis kasar. Komisi ini melakukan apa yang sudah dilakukan ditempat lain. Mereka mencoba mengorganisasi birokrasi analisis agar hasilnya lebih baik.

Tapi masalahnya bukan birokrasi. Ini soal dasar berpikir manusia sangat bagus menggunakan naluri dan imajinasi untuk memahami orang lain. Kita tahu, dari kemajuan bidang neuroscience yang dipopulerkan Malcom Gladwellad dalam Blink, bahwa pikiran manusia bisa melakukan sesuatu yang fantastis dalam mengenali pola bawah sadar. Ada proses tak tampak yang kita gunakan untuk menafsirkan dunia dan orang di sekitar kita. Saat anda mencoba menganalisis masalah manusia menggunakan proses yang sistimatis, prosedural dan birokratis seperti yang dilakukan CIA, anda akan mematikan alam bawah sadar itu. Anda tidak menghasilkan alasan mengapa ada kejadian tertentu.

Saya percaya masyarakat intelijen sudah benar berubah saat melihat analisis yang dikirim ke pusat pelatihan memperlihatkan pelajaran Thucydides, Tolstoy dan Churcill bisa memahami perilaku manusia. Saya percaya sistem sudah diperbaiki saat membuat kebijakan melihat laporan lain yang ditandatangani orang yang berbeda, yang tidak lagi diajukan sebagai laporan anonim, seragam, birokratis dan dengan item yang tampak seakan-akan hasil konsensus ilmiah. Saya percaya sudah ada perbaikan saat ada spanduk besar di depan Markas CIA bertulisan ”Pikiran individu lebih baik dari pada kelompok”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar