Minggu, 16 Desember 2012



Pemimpin Bangsa.


Jatuh bangunnya kekuasaan sebuah negara akan sangat bergantung oleh kekuatan yang berasal dari luar wilayah negara itu. Dalam hal ini perubahan kepemimpinan politik suatu negara juga lebih ditentukan oleh permainan terselubung kelompok-kelompok kepentingan  yang berada diluar struktur pemerintahan. Pemimpin yang ingin bertahan lama dalam kekuasaan nya harus pandai-pandai  memberikan pelayanan kepada kelompok kepentingan seperti yang disebutkan oleh Michael Man dalam bukunya  Source of Power 1986 kelompok itu dibagi menjadi empat kelompok yakni kelompok  penguasa modal (materi), kelompok politisi, kelompok penguasa gagasan (cendikiawan, tokoh-tokoh masyarakat yang berbasis masa terutama tokoh agama), dan kelompok militer [1]. Berapa besar kekuatan kelompok tadi mempengaruhi  wujud negara tergantung dari bagaimana permainan  ke empat kelompok  terhadap pemimpin negara bersangkutan.

Soekarno yang kharismatik  berbasis cendikiawan dan politis,  telah  membawa Indonesia menjadi negara kesatuan, berhasil membuat keseimbangan  kekuatan bagi empat kelompok  kepentingan tadi. Soeharto yang membangun kekuasaan melalui kelompok militer juga telah berhasil membawa Inonesia dalam keadaan aman selama ini dan masuk menapaki era pembangunan , dan Soeharto juga berusaha  merajut  ke empat kelompok tadi dengan lebih ketat dan teliti, sehingga memberi kesan pada kekuatan eksternal tentang bangkitnya kekuatan “raksasa tidur” Indonesia yang berbasis masa Islam yang berkoalisi dengan  kekuatan militer.

Soeharto, militer maupun kelompok Islam ketika itu terlena  dalam kekuasaan militer dan kemayoritasan ummat, sehingga tidak peka lagi terhadap ancaman minoritas internal yang berbasis mayoritas eksternal yang mempergunakan issue sensitif yang masih diderita oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Issu yang berhasil menggugah amarah rakyat adalah  ancaman terhadap bahaya kelaparan dan penderitaan yang berkepanjangan melalui terjadinya penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dollar. Hancurnya nilai rupiah inilah yang  mengungkit kemarahan kaum intelektual melalui mahasiswa, dengan membawa issu Demokratisasi yang selama ini dibungkam oleh Soeharto dan   kemarahan  sekelompok masyarakat yang berkepanjangan tadi telah membuat aparat militer (yang selama ini terlalu yakin akan kekuatannya tadi), bertindak diluar kapasitas yang seharusnya dilakukan sehingga terjerat issu  pelanggaran HAM. Skenario rontoknya Soeharto hanya terjawab melalui teori kospirasi global yang amat sulit terdeteksi buktinya

Habibie tidak bisa hidup lama karena pada masanya yang  terjadi adalah kolapsnya  sebuah bangunan. Dia hanya menjadi pelengkap dalam  timbunan runtuhnya pilar kekuasaan. Soeharto Gus Dur  dan Mega yang dipilih melalui proses “harapan” bangsa, mengawali kerja besar dengan merajut kekuatan yang selama ini kolaps, ataupun bila sudah tidak kolaps, Gus Dur tengah membangun sebuah rumah melalui sisa puing-puing bangunan yang rontok tadi atau membangun dari ke empat pilar kekuatan bangsa itu juga tengah dalam keadaan kolaps. Bangunan bangsa secara fisik nampaknya tidak banyak yang bisa dilakukan Gus Dur yang berbasis kelompok cendikiawan dan agama tadi. Melalui  basis kekuatan yang agamis tadi, kesalahan masa lalu bangsa Indonesia ini dapat “disadarkan” melalui fatwa  fatwa kiai Presiden Gus Dur  secara moral dan immaterial melalui pendekatan lintas  segala agama, yang akan menjadi basis pembangunan masa depan bangsa . Melalui profil Gus Dur image Barat terhadap muslim  akan berangsur merubah. International Herald Tribune, 21 Oktober 1999 menyebut Gus Dur sebagai  Moderate, Tolerant, and Impetuos telah membalikkan pandangan Media Barat yang selama ini memandang muslim sebelah mata sebagai  agresif, eksklusif dan militan[2]   .

Sebuah bangsa akan kuat  dan besar bila kelompok sipilnya yang diwakili oleh politisi akan bergandengan tangan dengan kelompok militernya [3]. Makanya, untuk menjadi bangsa yang besar, kriteria pemimpin masa depan bangsa Indonesia  bukan hanya ia yang mampu mengakomodasikan ke empat kelompok yang berkepentingan, namun sesungguhnya si calon pemimpin itu sendiri seharusnya terdiri dari komponen   ke empat kelompok kepentingan. Ia harus memiliki “ empat karakter dari sononya” ( bukan asessoris) 1. berbasis pribadi penguasa kekayaan materiil yang dermawan dan 2. berbasis penguasa gagasan kekayaan immateril ( cendikia, agamis) yang teruji, dengan kata lain  kelak ia akan didukung oleh kelompok cendikia dan agamis, 3. berbasis pribadi militer yang tidak arogan yang kelak ia akan diterima dan didukung oleh kelompok masyarakat militer dan sipil dan ke 4. berbasis wawasan politik yang berkepribadian mengakar pada hati nurani rakyat Indonesia, yang hingga hari ini masih hidup dalam kesederhanaan.

Nampaknya ciri  pemimpin yang berkualifikasi diatas tadi telah dinanti dan menjadi  dambaan rakyat  bawah dalam pomeo “satrio piningit”.



[1] “ Negara “ diatas Negara, Skh Suara Pembaharuan, Senin 31 Januari 2000.
[2] Citra Muslim di Barat, Sukidi, Skh Kompas 18 Februari 2000
[3] Buku CIA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar