Minggu, 20 November 2011

Hilangnya sense of crisis

Hilangnya sense of crisis

Kesalahan mendasar para pimpinan bangsa adalah mensikapi permasalahan bangsa yang abnormal (krisis multi dimensi) dengan pendekatan/paradigma normatif. Solusi para pimpinan bangsa dengan pikiran dn kinerja normatif itu dapat dimengerti karena mungkin saja sejarah masa lalunya ia lahir dari orang susah, menderita, dan berjuang hidup, dan ketika ia telah menembus taraf kesulitan menuju taraf “mapan” sekalipun belum mapan ekonomi, sejak itu pula ia melupakan “aib”masa lalunya, atau bisa juga sejak dahulu hingga saat ini mereka senantiasa hidup dalam keadaan normal, serba kecukupan, bahkan mereka dengan mudah hidup bergelimangan dari hasil KKN, jadi sudah pasti cara hidup dan pikirnya normal-normal saja, tidak perlu memutuskan tindakan yang terkait menyelesaikan kondisi krisis karena akan berisiko mempengaruhi kedudukan, pangkat dan jabatan empuk yang tengah dinikmatinya saat ini (safety player). Yang jelas hatinya telah tertutup, bagi mereka kemiskinan, kesulitan atau resiko hidup adalah masa lalu, kini adalah masa “mapan”.
Jika kemapanan, kenikmatan hidup itu telah sampai pada tahapan lupa akan bau keringatnya sendiri karena tidak pernah berkeringat disebabkan sejuk dan nikmat dirumah, dimobil dan nyaman diruang kerja, maka mana mungkin mereka tahan untuk berbaur, berlama-lama bincang dengan rakyat, merasakan bau keringat rakyat, merasakan bagaimana laparnya perut rakyat apalagi menembus nurani rakyat yang dalam keadaan krisis multi dimensi,, jauh panggang dari api.
Hilangnya sense of crisis ini sudah mengakar sampai tingkat pimpinan terendah termasuik kepala keluarga yang mungkin tingkat kemapanannya sangat sederhana, dan “kemapanan” yang sangat sederhana ini juga akan menjebak dirinya hidup dalam keadaan “biasa-biasa” saja, rutinitas sehingga tidak mampu menembus alam perasaan lain, keadaan lain dan ini sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada kasus bunuh diri beberapa pelajar yang malu karena tidak bisa bayar SPP beberapa bulan yang berjumlah seratus ribu rupiah. Ada yang dipanggil guru keruang guru, sebuah ruangan yang amat dihormati oleh para murid, bahkan ditakuti oleh sebagian murid karena kewibawaannya, juga keangkerannya lalu ada murid yang dipanggil masuk keruang itu, ibarat kelinci masuk ke kandang singa. Apakah perasaan murid semacam ini tidak dikenal lagi oleh guru yang juga senantiasa, terus menerus hidup sulit dihimpit tekanan ekonomi ? Adalah normal bila murid ditegor didepan umum misalnya bila rambutnya terlalu panjang karena hal ini menjadi tanggung jawab langsung sang murid pribadi, tetapi bila ia ditegor didepan ruangan guru, atau didepan rekannya tentang keterlambatan SPP yang diluar kemampuan dirinya adalah sebuah tindakan guru yang berlebihan. tanpa ditegorpun murid akan merasa malu bulan SPP nya tidak dibayar, apalagi ditegor. Bukankah anak seusia sekolah tengah mengembangkan identitas diri, harga diri, dan saat ditegor itulah harga diri dirasakan hancur, tidak berguna, apakah ini juga telah dilupakan para guru yang hidup dan cara mengajarnya rutin rutin saja, tidak lagi mampu mengidentifikasi perasaan salah satu murid diantara 30 murid dikelas yang menjadi tanggung jawabnya ?
Hilangnya sense of krisis pemimpin keluarga terkuak dengan terjebaknya anak-remaja dalam narkoba atau kehidupan seks bebas. Bagi Ayah dan ibu yang sadar akan bahaya gaya hidup narkoba dan seks bebas tentu akan memberi perlindungan kasih sayang kepada anak-anak mereka bukannya memberikan kehidupan permissive yang serba boleh. Dan yang terburuk sampai pada tingkat yang sangat sacral, dimana wanita remaja atau dewasa dibiarkan menikah dengan bangsa dan agama lain demi meningkatkan kehidupan ekonomi.
Ketidak sinambungan rasa antara pemimpin dan yang dipimpin sudah nampak dari sikap para eksekutif, judikatif dan legislatif yang kini hanya bertikai untuk menyelesaikan proses dengan cara normatif, cara yang aman dan tidak berisiko bagi pangkat dan kedudukannya. Menyelesaikan persoalan krisis multi dimensi hanya bisa selesai dengan membawa serta pikiran, perasaan penderitaan rakyat kedalam hati sanubari pimpinan, dan kini hanya segelintir pimpinan yang masih punya nurani yang mau berkorban demi rakyat.
Bangsa ini butuh pimpinan-pimpinan mengenal apa arti marginal, dan ia yang mengenal, memahami, meraba rasakan arti itu adalah ia yang hari ini masih menderita, termarginalkan yang berjuang dijalan Allah melawan kedzoliman dan memperjuangkan hak hak keadilan, perikemanusiaan yang kini tengah diderita rakyat bawah, dia akan muncul dan memimpin seiring denyut jeritan kehidupan rakyat bawah, selamat berjuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar