Sabtu, 26 Januari 2013

KEKERASAN PSIKOLOGIS, Sebuah Propaganda Di Era Informasi


Paul Joseph Goebbels lahir pada tanggal 29 Oktober 1897 bergabung secara resmi dengan Nazi pada tahun 1924. Oleh Hitler, ia diberi posisi kunci sebagai Menteri Propaganda Nazi. Sebagai seorang propagandis, dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern Argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).

Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan. Ia juga mempelopori penggunaan siaran radio sebagai media propaganda massal. Dengan menggunakan radio gelombang pendek yang mampu menjangkau berbagai belahan bumi, ia menyebarluaskan doktrin Nazi. Bahkan pada tanggal 18 Februari 1943, ia mengumandangkan Perang Propaganda Total demi menaikkan moral balatentara Jerman di medan perang.

Goebbels menjadi orang ketiga yang paling populer di Jerman setelah sang Führer dan Martin Bormann.
Propaganda di zaman Tehnologi Informasi, digunakan dengan cara elegan dengan kedok informasi yg berimbang, sebagai pencerahan public dan keterbukaan informasi, dan ditiupkan terus menerus, sehingga publik tersihir oleh ke eleganan media tanpa menyadari agenda tersembunyinya. Inilah kondisi nyata bangsa, yg tidak menyadari bahwa kekuatan terselubung Media telah mensihir kehidupan masyarakat disegala lini kehidupan.

Apa NIAT lawan mengaduk aduk kehidupan kita ?

Indonesia dengan kekuatan SDM muslim terbesar dan SDA terkaya didunia, menjadi sasaran empuk Negara asing untuk dijadikan pasar ekonominya karena mudahnya menggunakan bahan dasar dengan cara pencurian SDA, sekaligus ajang ‘jihad’ agama lain untuk menghambat potensi SDM muslim Indonesia, bukannya dengan cara radikal – terorisme yang kini di jadikan stigma bagi muslim, namun dengan cara softpower, elegan dan berkemanusiaan dan salah satu caranya dengan menggunakan media, baik cetak, elektronik, film dan sinetron.

Kemenangan Negara adikuasa adalah mencecoki Negara berkembang dengan konsep Demokrasi dan HAM secara premature, akibatnya konsep ini ditanggapi secara berlebihan dan menghasilkan masyarakat demokrasi yang kacau bahkan bisa dikatakan chaos social dimana terlalu banyak etika etika social dan budaya yang dilanggar tanpa rasa bersalah atau tanpa penegakan hukum yang tegas. Inilah kondisi yang diharapkan Negara super power, agar Indonesia disibukkan hal hal internal secara psikologis, dan mengabaikan dampak kehancuran SDA atau kehancuran moral SDM nya. Karenanya digunakan cara softpower dengan cara asymmetric dengan menggunakan film-sinetron yang menjadi senjata utama menghancurkan SDM moral bangsa.

Kekerasan Psikologis.

Sepintas, tayangan film-sinetron nampak biasa biasa saja, karena tayangan seperti adegan vulgar porno, seksual, kekerasan fisik bisa di cegat melalui LSF. Yang membahayakan adalah justru maraknya tayangan sinetron-film yang bernuansa kekerasan psikologik seperti mimik muka kejam dari seorang berjilbab, dengan sinar mata yang berbinar menandakan keculasan hati dan pikiran, kalimat yang bermuatan kasar, membentak menjadi bagian dari adegan antagonis  , telah mensihir masyarakat khususnya kaum ibu yang tanpa sadar saat nonton tengah mengasuh anak, kemudian adegan adegan dan mimik muka dan segala action kekerasan psikologis itu diserap oleh anak secara utuh.

Sebuah kasus menarik :

Pembicaraan keluarga elite dimeja saat sarapan pagi, sang nenek buyut dengan tulus mengucapkan rasa syukurnya karena buyut perempuannya yang masih berusia 8 tahun ingin jadi dokter anak. Sang nenek yang lebih sering  ketemu si cucu nimbrung, dan pernah mendengar langsung bahwa sicucu pernah berucap, ntar kalo udah jadi dokter anak trus pasien anak anak yang nakal, mau aku jatuhin ke lantai bawah aja, biar gak nakal. Si nenek sangat kaget dan tidak menyangka si cucu akan berucap demikian. Ia lalu membujuk si cucu dijatuhin atau ditimang timang ? dijatuhin kelantai bawah bentak sang cucu.Si  kakek dengan tenang langsung menjawab, naaahhh itu gara gara sering liat sinetron… saat itu sang ibu dengan cueknya dan senyum senyum mengikuti pembicaraa tadi sambil  asyik browsing dengan tabletnya.

Kasus lain adalah maraknya tayangan sinetron, siaran langsung yang bernuansa komedi saat saur dan berbuka puasa Ramadhan. Jam jam strategis dimana ratusan juta ummat memerlukan suasana bathin yang khusyuk, ternyata telah diselewengkan media TV dengan menyiarkan tayangan quis, ketawa ketiwi dstnya. Suatu cara halus dan elegan untuk menggiring alam pikiran bahkan rohani bangsa menuju masyarakat yang permisive, menghalalkan segala cara, sekalipun itu tidak sesuai dengan nilai etika budaya apalagi agama.
Melalui produksi puluhan ribu sinetron setiap tahunnya yang bernuansakan kekerasan psikologis, paling tidak 11 stasiun TV nasional dan swata nasional, dan dimasa mendatang  puluhan TV local serta ratusan tv jaringan-kabel yang dikuasasi oleh lebih 80 % kekuatan asing menjadikan  ratusan juta pikiran mata bangsa sebagai mangsanya, untuk di brain wash menjadi manusia yang berkarakter buruk, kejam, culas, iri dengki dan rendah martabat, bahkan lebih buruk dari itu dimana sikap permissive ini menghancurkan generasi muda dengan narkoba, pergaulan bebas yng berdampak meningkatnya ODHA, abortus pra nikah.

Keberhasilan Paul Joseph Goebbels dengan konsep Propaganda Big Lie nya kini tengah di copy paste, ditayangkan berulang dan terus menerus, yang telah merubah tataran budaya beretika menjadi budaya permissive ( serba memperbolehkan) oleh sekelompok pemilik modal yang sengaja mencari keuntungan materiil, sekaligus dengan strategi merusak moral bangsa secara terstruktur. Pertanyaannya apakah  bangsa ini hanya berdiam diri saja ? Harapan bangkitnya generasi muda melalui film Indi- film pendek yang mengangkat budaya lokal, untuk mempersatukan kekuatan kebhinekaan menjadi kekuatan bangsa. Sebuah harapan setidaknya menjadi embun penyejuk, dan siapa tau mereka menjadi pejuang penyelamat moral bangsa ditengah tengah peperangan TI yang secara nyata telah menghancurkan moral generasi muda. Juga kemampuan dan kecerdasan generasi muda bangsa untuk tidak terjebak menonton tayangan yang berklas sampah dengan meningkatkan self sensor, atau bahkan dengan menciptakan software tehnologi yang mampu secara otomatis menyensor adegan baik visual maupun ucapan yang merusak moral bangsa. Kami menanti kreativitas kalian,

Selamat berjuang !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar