Sabtu, 16 Februari 2013

akuisisi dan monopoli frekwensi melanggar UU

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers sepakat bahwa pemusatan kepemilikan atau monopoli lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah maupun di beberapa wilayah siaran, tidak dibenarkan dan melanggar UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Demikian halnya dengan izin kepemilikan frekuensi tidak bisa dipindahtangankan, karena itu adalah ranah publik yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Wina Armada Sukardi dalam sidang uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (19/1), mengatakan, kemerdekaan pers adalah milik publik dan harus dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Terkait uji materi Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU Pers, Wina mengatakan, UU Penyiaran sejak awal dirancang untuk mencerminkan kebhinnekaan dan tidak dimonopoli oleh lembaga penyiaran tertentu.
“UU Penyiaran jelas melarang pemusatan kepemilikan dan monopoli lembaga penyiaran swasta seperti yang dilakukan beberapa lembaga selama ini,” katanya.
Mengenai akuisisi dan izin pindah tangan frekuensi, seperti yang dilakukan PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) yang mengakuisi Indosiar atau pemusatan kepemilikan seperti yang dilakukan MNC grup dan beberapa televisi lainnya, Wina mengatakan, pada prinsipnya monopoli dilarang dan tidak dibolehkan. Izin frekuensi juga dilarang dan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain dengan berbagai cara atau modus.
Wina menjelaskan, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan terkait monopoli dan kepemilikan frekuensi, yakni izin penyiaran hanya dibolehkan untuk perusahaan, pemilik, dan pemegang saham yang berbeda-beda. Jika perusahaannya berbeda, tetapi pemegang sahamnya sama, maka itu tidak diperbolehkan.
“Jika berbentuk grup, maka izin dan frekuensi tidak boleh diberikan kepada gabungan pemegang saham,” katanya.
Dewan Pers secara eksplisit mau mengatakan bahwa akuisisi dan pemindahtanganan frekuensi yang dilakukan beberapa stasiun televisi, seperti PT EMTK mengakuisi Indosiar, pemusatan kepemilikan yang dilakukan MNC Grup, dan sebagainya, tidak dibenarkan dan melanggar UU Penyiaran.
Sementara itu, Judhariksawan yang mewakili KPI di depan majelis hakim MK mengatakan, terkait akuisisi Indosiar oleh PT EMTK yang juga memiliki SCTV, pihaknya sudah mengeluarkan legal opinion atau opini hukum bahwa tidak dibenarkan terjadi pemusatan kepemilikan oleh perseorangan, holdin,g dan akuisisi oleh satu lembaga penyiaran.
“KPI menyadari bahwa jika terjadi pemusatan kepemilikan, maka akan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, karena frekuensi adalah sumber daya alam terbatas, yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya.
KPI juga mengatakan, pemusatan kepemilikan juga akan menggiring opini publik, yang pada akhirnya masyarakat umum dirugikan. “Ada banyak fakta dimana opini digiring untuk kepentingan pemilik dan politik praktis,” katanya.
Karena itu, di depan tujuh majelis hakim MK yang diketuai Harjono, KPI menegaskan, berdasarkan UU Penyiaran, terutama Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4, sebagaimana yang diuji materikan saat ini, izin penyiaran tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain, dengan cara apapun.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Ahmad Junaidi mengatakan, pihaknya hanya menguji aspek persaingan usaha dan tidak masuk pada soal pemusatan kepemilikan, konten, izin frekuensi seperti yang ditetapkan UU Penyiaran.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) Eko Maryadi mengatakan, dalam UU Penyiaran ditegaskan sanksi bagi mereka yang melanggar, yakni pidana penjara dua tahun dan denda Rp 5 miliar. Pasal 18 Ayat (1) menyebut,
“Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.” Juncto Pasal 58 huruf a berisi pokok “melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.”
Pasal 34 Ayat (4): ”Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.” Juncto Pasal 58 huruf c: “melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar